Rania


RANIA

                Bukan tanpa alasan aku mau menunggu lama di sini. Berpanas-panas dan disengat matahari. Belum lagi asap kendaraan bermotor yang katanya dapat mengganggu kesehatan. Dan dengan sedikit jengkel, aku masih menungggu di sini. Mau menunggu.
                Setengah jam telah berlalu dan dia belum juga datang.  Jangankan datang, tanda-tanda kehadirannya pun tak ada. Ataukah dia lupa? Tidak mungkin. Dia bukan tipe pelupa, lagi pula dia sendiri yang berjanji untuk bertemu di sini.
                Kemana dia? Sedang aku mulai khawatir di sini. Aku harus mulai berfikir untuk membuat alasan yang masuk akal pada Ibuku mengapa mengapa aku pulang terlambat. Aku harus melakukannya walaupun aku tahu ini sangat tidak baik. Tapi, demi dia aku rela dan untuk saat ini aku masih mau. Aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus aku katakan pada Ibu. Aku tidak mungkin bilang aku menunggu Wisnu yang berjanji akan menemuiku. Tidak. Ibuku akan sangat marah. Karna dia sudah wanti-wanti  agar aku tidak pacaran selama aku masih sekolah. Setidaknya sampai lulus SMA.
                Sesaat kemudian aku mendengar motor Wisnu. Tepat ketika aku memutuskan untuk pergi dari depan pintu gerbang sekolahku. Wisnu tersenyum padaku setelah membuka helmnya. Ceria, tanpa rasa bersalah. Aku hanya bisa pasang muka masam. Aku makin kesal karna dia dengan enak datang terlambat.
                “Sorry, Nia, aku terlambat! Dosenku tidak segera pergi setelah jam selesai. Jadi, kami harus menunggu.” katanya sambil mendekatiku. Aku memberikan reaksi tak percaya dan tidak menjawabnya. “Ayolah, Nia, maafkan aku!” katanya lagi dengan memelas.
                “Aku sudah terlambat pulang. Alasan apa lagi yang harus aku katakan pada Ibu?” kataku masih dengan muka masam.
                “Katakan saja kamu harus mengerjakan sesuatu yang penting dengan temanmu. Tugas penting.”
                Aku memandangnya tajam. Dia tampak menyesal. “Kita pergi sekarang!” katanya kemudian. Tanpa menunggu jawabanku, dia menaiki motornya dan menstaternya. Aku belum bergeming dari tempatku berdiri. Wisnu mengulurkan helm padaku. Aku pun dengan terpaksa menerimanya dan melupakan kekesalanku padanya.
                Dalam perjalanan, kami tidak berkata sepatah katapun. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Bukankah ada pepatah bilang bahwa dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu. Aku juga bukan orang yang bisa membaca pikiran orang lain. Jadi aku hany bisa duduk di belakangnya dengan kesal. Entah mengapa aku menjadi sangat kesal. Terutama pada Wisnu. Mungkin karena aku menunggu terlalu lama. Atau karena aku tak enak hati harus berbohong pada Ibu.
                “Lebih baik aku telefon Ibu,“ kataku sesaat setelah sampai di tempat tujuan. Dia tidak berkata apa-apa. Tapi, dia mengulurkan HPnya padaku. Aku pun menelefon Ibu dan berbohong bahwa aku masih harus mengerjakan tugas bersama teman. Di seberang sana aku mendengar Ibu berkata ya dengan tambahan supaya aku tidak pulang terlalu malam. Dan seperti anak yang patuh, aku mengiyakannya.
                “Aku tidak mau lagi berbohong pada Ibu,” kataku pada Wisnu saat kami berjalan menuju makam orang tuanya. Kulihat dia terkejut dengan ucapanku. “Mengapa?” tanyanya singkat.
                “Aku tidak mau lagi berbohong pada Ibu. Aku tidak tega membohonginya terus. Aku merasa bersalah.”
                Dia terdiam. Aku pun juga terdiam, menyadari keadaan yang terjadi. Aku tidak mungkin bilang ke Ibu kalau aku pacar Wisnu. Ibu pasti minta kami putus. Padahal, aku sangat mencintainya. Dan Wisnu, dia pun sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin memenuhi permintaanku saat ini. Tidak ada yang mendukungnya. Dan dia baru tingkat 6. Siapa yang bisa menjamin dia mampu memenuhi kriteria Ibu untuk jadi pacarku. Dan kami tetap terdiam sampai kami tiba di pusara Ayah dan Ibunya. Wisnu segera khusuk berdoa. Aku pun sesaat tenggelam dalam do’a juga.
                “Maaf, Nia, “ kata Wisnu tiba-tiba mengagetkanku. “Aku membuatmu berbohong pada Ibumu.” Aku tidak menjawab. Dia pun melanjutkan, “Bersabarlah sebentar! Tunggu sampai kamu lulus SMA!”
                Wisnu kemudian memelukku. Setelah beberapa lama kami pun duduk di batu depan nisan kedua orang tua Wisnu. Dia mulai membujuk dan merayuku. Aku hanya seperti gadis kebanyakan. Luluh oleh bujuk rayu seorang pria. Dan kami pun memulai sore seperti hari-hari kemarin. Dia membantuku belajar dan mengerjakan tugas sekolahku. Dengan telaten Wisnu menjelaskan semua yang tidak aku mengerti.
                Setidaknya, untuk hal yang satu ini aku tidak berbohong pada Ibu. Aku memang belajar, walaupun bukan dengan teman, tapi dengan Wisnu. Setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong pada Ibu.
                Saat lembayung senja mulai membayang, kami dikejutkan oleh suara ribut di belakang kami. Teman-teman Wisnu. Mereka memang akan dengan mudah menemukan Wisnu. Kalau tidak di kampus, ya di panti, atau di makam ini. Wisnu memang cukup dekat dengan teman-temannya. Dan dia juga tahu aku tidak begitu suka bersama teman-temannya. Mereka biasanya akan dengan tak langsung mengejekku karena aku masih SMA. Masih anak kecil bagi mereka. Karena itu, jika mereka datang pada kami, Wisnu akan bicara sebentar pada mereka. Dan diakhiri dengan janji bertemu di suatu tempat setelah mengantarku pulang. Aku senang, sebab mereka menurut saja apa kata Wisnu.
                Namun, setelah itu Wisnu benar-benar akan mengantarku pulang. Juga hari ini. Aku agak takut juga, karena hari ini sudah terlalu sore. Aku tidak tahu Ibu akan marah padaku atau tidak. Yang segera kuketahui adalah Ibu sudah ada di pintu depan ketika aku pulang. Samar kulihat wajah Ibu kaget dan menegang marah aku diantar pulang seorang pria.    Wisnu ternyata cukup tanggap. Dia turun dari motornya dan mengantarku masuk. Kulihat wajah Ibu semakin tegang. Aku pun mulai deg-degan. Namun, tak kulihat segala ketakutan dan kereaguan di wajah Wisnu. Dia tampak begitu tenang dan dewasa.
                “Sore, Bu!” sapanya pada Ibu. Ibu pun dengan kaku menjawabnya. “Maaf, Bu, tadi tugas yang Rania kerjakan cukup sulit. Jadi, pulangnya kesorean. Karena sudah terlalu sore, mereka memaksa Rania diantar saya.”
                Mendengar penjelasan Wisnu, wajah Ibu mulai mengendur. Dalam hati aku bersyukur Ibu menerima alasan Wisnu. Walaupun dengan satu kebohongan. “Saya Wisnu. Saya sering membantu mereka mengerjakan tugas.”
                “Oh,” itu reaksi Ibu. “Masuk dulu, Nak!” Ibu malah mengajaknya masuk. Wisnu pun menolaknya dengan halus. “Tidak usah, Bu, sudah terlalu sore. Lagipula saya masih ada janji dengan teman. Permisi, Bu! Yuk, Nia!” pamit Wisnu. Ibu membiarkannya pergi dengan senang.
                Aku segera masuk ke kamarku. Ibu tidak marah. Itu karena Wisnu. Tapi jika Wisnu mengaku pacarku, Ibu pasti marah. Satu kebohongan lagi aku katakan. Biarlah, yang penting aku tidak sepenuhnya berbohong. Aku cinta kamu, Wisnu.

Ketandan, 24 Februari 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis Buku dalam Seminggu

Bahasa terbaik untuk anak

Kakek